Published on: May 19, 2012 at 12:22 PM
Liturgi adalah perayaan misteri karya keselamatan Tuhan di dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus. Namun, akibat kurang faham terhadap Liturgi menyebabkan berlaku pelanggaran di dalam Liturgi. Pada keluaran lalu, rencana ini membincangkan beberapa pelanggaran berkaitan dengan persiapan batin sebelum mengikuti Misa Kudus dan semasa menyambut Komuni Kudus. Berikut merupakan beberapa pelanggaran di dalam bahagian- bahagian Misa Kudus yang harus dielakkan.
--Mazmur Tanggapan digantikan dengan lagu rohani lain. Redemptoris Sacramentum (RS) 62 menyatakan “Tidak diperkenankan meniadakan atau menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan apatah lagi “mengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi Sabda Tuhan dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci.” (lih. juga PUMR 57)
Katekismus mengajar bahawa kehadiran Kristus dalam Perayaan Ekaristi nyata dalam: 1) diri Paderi 2) secara khusus dalam rupa roti dan anggur 3) dalam Sabda Tuhan (bacaan-bacaan Kitab Suci) 4) dalam jemaat yang berkumpul (lih. KGK 1088).
-- Jadi Sabda Tuhan yang dimaksudkan di sini adalah bacaan di dalam Liturgi Sabda, dan ini termasuk bacaan Mazmur pada hari itu.
--Kurangnya saat hening. Seharusnya: PUMR 45 menyatakan, dalam Misa Kudus hendaknya diadakan beberapa kali saat hening. Saat hening juga merupakan bahagian perayaan, tetapi erti dan maksudnya berbeza-beza menurut makna bagian yang berkaitan. Sebelum pernyataan tobat umat hening seketika dan sesudah ajakan untuk doa pembuka, umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang didengar. Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati.
Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam Gereja, di sakristi, dan di kawasan sekitar gereja, agar seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan hormat dan penuh kebaktian.
PUMR 56 juga menegaskan agar Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa (harus ada saat hening) untuk mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesagesaan yang dapat mengganggu renungan harus dihindari.
Selama Liturgi Sabda, sangat sesuai disisipkan saat hening sejenak, bergantung kepada jumlah jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapi Sabda Tuhan di dalam hatinya dengan bantuan Roh Kudus, dan untuk menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili.
--Mazmur Tanggapan digantikan dengan lagu rohani lain. Redemptoris Sacramentum (RS) 62 menyatakan “Tidak diperkenankan meniadakan atau menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan apatah lagi “mengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi Sabda Tuhan dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci.” (lih. juga PUMR 57)
Katekismus mengajar bahawa kehadiran Kristus dalam Perayaan Ekaristi nyata dalam: 1) diri Paderi 2) secara khusus dalam rupa roti dan anggur 3) dalam Sabda Tuhan (bacaan-bacaan Kitab Suci) 4) dalam jemaat yang berkumpul (lih. KGK 1088).
-- Jadi Sabda Tuhan yang dimaksudkan di sini adalah bacaan di dalam Liturgi Sabda, dan ini termasuk bacaan Mazmur pada hari itu.
--Kurangnya saat hening. Seharusnya: PUMR 45 menyatakan, dalam Misa Kudus hendaknya diadakan beberapa kali saat hening. Saat hening juga merupakan bahagian perayaan, tetapi erti dan maksudnya berbeza-beza menurut makna bagian yang berkaitan. Sebelum pernyataan tobat umat hening seketika dan sesudah ajakan untuk doa pembuka, umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang didengar. Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati.
Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam Gereja, di sakristi, dan di kawasan sekitar gereja, agar seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan hormat dan penuh kebaktian.
PUMR 56 juga menegaskan agar Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa (harus ada saat hening) untuk mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesagesaan yang dapat mengganggu renungan harus dihindari.
Selama Liturgi Sabda, sangat sesuai disisipkan saat hening sejenak, bergantung kepada jumlah jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapi Sabda Tuhan di dalam hatinya dengan bantuan Roh Kudus, dan untuk menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili.
--Pemberian Salam Damai yang dilakukan terlalu meriah dan panjang, sehingga Paderi turun dari altar.
Seharusnya: RS 71 menyatakan, “Perlu mempertahankan kebiasaan seturut Ritus Romawi, untuk saling menyampaikan salam damai menjelang Komuni. Sesuai dengan tradisi Ritus Romawi, kebiasaan ini bukanlah dimaksudkan sebagai rekonsiliasi atau pengampunan dosa, sebaliknya menyatakan damai, persekutuan dan cinta sebelum menyambut Ekaristi Mahakudus. Rekonsiliasi antara umat yang hadir lebih bermakna diungkapkan dalam upacara tobat pada awal Misa, khususnya dalam rumus pertama.
RS 72: “Salam damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan cara yang pantas. Paderi boleh memberi salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan Altar agar perjalanan perayaan tidak terganggu.
-- Umat yang menerima Komuni dengan tangan, tidak melakukan sikap penghormatan sebelum menerimanya. PUMR 160 menyatakan, “Jika menyambut Komuni sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan, menyatakan tanda hormat yang serasi sebagaimana yang ditentukan dalam tatacara menerima Komuni. Adalah baik jika sesaat sebelum menyambut Komuni umat menundukkan kepala, tanda penghormatan kepada Kristus Tuhan yang hadir. --Katoliksitas
Seharusnya: RS 71 menyatakan, “Perlu mempertahankan kebiasaan seturut Ritus Romawi, untuk saling menyampaikan salam damai menjelang Komuni. Sesuai dengan tradisi Ritus Romawi, kebiasaan ini bukanlah dimaksudkan sebagai rekonsiliasi atau pengampunan dosa, sebaliknya menyatakan damai, persekutuan dan cinta sebelum menyambut Ekaristi Mahakudus. Rekonsiliasi antara umat yang hadir lebih bermakna diungkapkan dalam upacara tobat pada awal Misa, khususnya dalam rumus pertama.
RS 72: “Salam damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan cara yang pantas. Paderi boleh memberi salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan Altar agar perjalanan perayaan tidak terganggu.
-- Umat yang menerima Komuni dengan tangan, tidak melakukan sikap penghormatan sebelum menerimanya. PUMR 160 menyatakan, “Jika menyambut Komuni sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan, menyatakan tanda hormat yang serasi sebagaimana yang ditentukan dalam tatacara menerima Komuni. Adalah baik jika sesaat sebelum menyambut Komuni umat menundukkan kepala, tanda penghormatan kepada Kristus Tuhan yang hadir. --Katoliksitas